Powered by Blogger.

Mobile Menu

Bola

ShowBiz

Bisnis

Asian Games 2018

CPNS 2018

Liputan9

Liputan9
Liputan9

Menu Bawah

Populer

Follow Us

Advertisement

Top Ads

Responsive Leaderboard Ad Area with adjustable height and width.

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px

More News

logoblog

Sesat Yang Bilang Fatwa MUI Meresahkan

19 January 2017

Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Aboe Bakar Al Habsyi keberatan jika ada aparat penegak hukum mengatakan fatwa MUI menimbulkan gejolak dan menyebabkan keresahan di masyarakat.

"Jika ada kesimpulan yang menyatakan bahwa fatwa ulama menjadi penyebab keresahan dan anti kebhinekaan, ini adalah logika sesat," katanya kepada wartawan di Jakarta.  

Aboe meminta aparat penegak hukum berhati-hati dalam berbicara, dan tidak menyakiti perasaan ulama. Ditegaskannya, fatwa ulama erat kaitannya dengan sejarah pendirian bangsa Indonesia.  

Dicontohkannya, fatwa jihad atau resolusi jihad yang disampaikan KH Hasym Asy'ari telah mengobarkan semangat perlawanan Arek Suroboyo terhadap penjajah asing.

"Bila tidak ada fatwa jihad tersebut, tidak ada hari pahlawan, dan kita tidak tahu apakah republik ini masih ada. Jangan seenaknya mendeskriditkan fatwa ulama, ketika sedang berkuasa," tegasnya.

Anggota Komisi III ini menambahkan, konyol jika ada pejabat negara yang menyampaikan bahwa fatwa ulama menimbulkan gejolak sosial. Jika yang dimaksud fatwa ulama yang meresahkan adalah fatwa dari MUI, maka coba dilihat juga bahwa fatwa MUI sudah berjalan selama 40 tahun.

"Kalau ada pejabat mengatakan fatwa MUI meresahkan saya marah. Ini tidak bisa dibenarkan," cetusnya.

Aboe menyampaikan, selama ini sudah ada 5 presiden yang berganti, dan tidak ada yang mengeluhkan fatwa MUI. Malah, sambung dia, fatwa MUI banyak dijadikan rujukan pembangunan nasional, misalkan saja dibidang perbankan, zakat hingga wakaf.

"Jika yang dikeluhkan adalah pergerakan massa setelah ada fatwa penistaan, tengok sejarah. HOS Tjokroaminoto,mengajak rakyat Indonesia untuk menghadiri rapat besar di Kebun Raya Surabaya, 6 Februari 1918. Lantaran penistaan yang dilakukan Djojodikoro terhadap Nabi Muhammad dalam harian Djawi Hisworo," ungkapnya.

Menurutnya, aparat penegak hukum perlu memahami bahwa fatwa ulama adalah penterjemahan aturan hukum agama dalam konteks lokalitas dan kekinian.
Menurutnya, hal itu dibutuhkan agar ummat dapat memahami aturan hukum agama dengan baik dan benar sesuai dengan perkembangannya.

"Tentunya, sudah menjadi kewajiban bagi ulama untuk menjaga umatnya agar selalu dalam rel ajaran agama yang benar. Jadi tolong siapapun pejabat jangan pernah mendeskriditkan fatwa MUI," ingatnya.