Ketua DPP PKS Aboe Bakar Al Habsyi khawatir tak adanya terorisme jadi komoditas politik penguasa. Tidak masuknya definisi terorisme dalam RUU Terorisme usulan pemerintah salah satu indikasi terorisme berpotensi jadi komoditas politik.
"Dari 61 negara yang memiliki concern terkait persoalan terorisme, hanya 16 negara yang tidak mempunyai definisi spesifik terorisme dalam peraturan perundang-undangannya," katanya, Senin (23/4).
Aboe menilai, tak adanya definisi ‘terorisme’ yang universal dalam RUU tidak boleh meninggalkan negara bertanggung jawab untuk merumuskan definisinya sendiri sesuai dengan kebutuhan politik dan situasi keamanan negaranya tersebut.
"Perumusan definisi terorisme seharusnya mencakup motivasi tindakan dan dapat menjerat siapapun pelakunya, dan dianggap sebagai ancaman serius bagi keamanan negara," katanya.
"Perumusan definisi terorisme seharusnya mencakup motivasi tindakan dan dapat menjerat siapapun pelakunya, dan dianggap sebagai ancaman serius bagi keamanan negara," katanya.
Anggota Komisi III menambahkan, perumusan definisi terorisme dalam RUU Terorisme harusnya menggunakan bahasa yang jelas dan tidak memberi ruang penyalahgunaan istilah terorisme.
"Dalam konteks internasional, pendefinisian istilah terorisme di dalam rancangan peraturan perundang-undangan harus dibatasi dan diartikan sebagai upaya counter measure atau upaya melawan perbuatan yang dianggap bersifat teror yang karakteristiknya seperti dipaparkan di dalam Resolusi Dewan Keamanan 1566," jelasnya.
Menurutnya, negara dengan legislasi yang memiliki definisi terorisme kabur, sama saja memberi posisi orang yang tidak bersalah di dalam tingkat yang sejajar dengan tersangka terorisme.
Menurutnya, negara dengan legislasi yang memiliki definisi terorisme kabur, sama saja memberi posisi orang yang tidak bersalah di dalam tingkat yang sejajar dengan tersangka terorisme.
"Akibatnya bisa meningkatkan resiko penahanan secara sewenang-wenang. Untuk itu, kegagalan negara membatasi aturan dan upaya pemberantasan dan pencegahan terorisme, dapat mengurangi penikmatan hak asasi dan kebebasan dasar serta mengabaikan prinsip kebutuhan dan proporsionalitas (necessity and proportionality) yang mengatur pembatasan hak asasi manusia," pungkasnya.