Pemblokiran, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara bukan akhir yang akan diambil dalam menangkal berita hoax. Ia memastikan bahwa langkah yang diambil pemerintah nantinya tidak akan mengancam kebebasan berpendapat.
"Bukannya mau blokar-blokir. Saya katakan, kalau pemikirannya hanya blokir capek kita semua," katanya.
Asal tahu saja, sebelum ini Kemenkominfo telah memblokir 11 situs media online, lantaran dinilai berkonten SARA. Selanjutnya, menurut Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo Samuel A mengaku juga akan kembali memblokir portal berita liar yang tidak sesuai dengan Undang-undang Pers. Jumlahnya diperkirakan mencapai 40 ribu situs.
Effendi Simbolon, politisi PDI-Perjuangan mengkritik kebijakan ini. Ia meminta pemerintah lebih santai menanggapi berita hoax. Karena menurutnya, masih banyak masalah lain yang lebih penting untuk diatasi daripada mengurus masalah hoax.
"Kita kan baru memasuki era digital. Jadi ada hoax, biarin saja. Bahasanya Pak Jokowi kegembiraan. Inilah kegembiraan netizen. Ada yang marah, fitnah, biarin saja," ujarnya.
Lalu bagaimana Chief RA, sapaan akrab Menkominfo ini menanggapinya?
Berikut ini penuturan selengkapnya;
Pendekatan apa yang diambil pemerintah untuk mengantisipasi membanjirnya berita hoax belakangan ini?
Begini, kalau masalah hoax ini pemerintah pendekatannya tidak hanya regulasi dan teknologi. Tetapi juga bagaimana mengajak masyarakat, komunitas untuk bersama-sama. Kominfo mendukung aktivitas-aktivitas masyarakat juga mendorong untuk membuat semacam tatacara, etika dalam membuat konten-konten yang sehat. InsyaAllah besok (hari ini) akan ada deklarasi masyarakat anti fitnah, atau anti hoax. Saya akan hadir. Itu ada di tujuh kota. Di Jakarta besok bersamaan dengan car Free day.
Komunitas mana saja yang akan disasar Kominfo?
Contoh komunitas wartawan, saya akan dorong bagaimana membuat semacam etika diantara komunitas wartawan misalkan. Komunitas sepeda, kan banyak tu, juga komunitas mancing, dan lainnya. Ini akan mengurangi hoax, artinya kita membentengi masyarakat dari hoax dengan partisipasi dari masyarakat juga gitu.
Kalau terkait pemblokiran?
Kalau masalah pemblokiran, bukan masalah hoax yang sekarang, dari sebelumnya juga aturannya sudah ada. Tapi itu kalau hanya mengandalkan kepada regulasi, ataupun teknologi itu tidak akan efektif kalau tidak melibatkan masyarakat banyak.
Banyak yang khawatir, pemblokiran- pemblokiran yang dilakukan Kominfo dapat mengancam kebebasan berpendapat dan berdemokrasi?
Ya enggak lah. Justru Undang-undang ITE yang baru saja itu justru memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Nggak ada ngekang-ngekang. Apa yang kita kekang...
Pemblokiran sejumlah media online belum ini?
Kalau media-media, katakanlah media online itu subjek kepada UU Pers. Kalau UU Pers kan jelas bahwa dia harus berbadan hukum, harus jelas redaksinya, alamatnya, dan lain sebagainya. Verifikasi dari Dewan Pers. Kalau tidak memenuhi itu berarti tidak subjek kepada Undang-undang Pers kan. Dan kami pun bekerjasama dengan Dewan Pers.
Lalu bagaimana dengan akun-akun sosial media?
Ada yang situs, kalau itu bisa dilihat dan dikenali dengan mudah. Kalau akun-akun, ada media sosial ada yang messaging system atau chating. Nah, kita juga lihat itu apakah ranah publik atau ranah privat.
Bedanya?
Kalau ranah publik ya lebih mudah dikenali, perlakuannya juga lebih cepat. Tapi kalau ranah privat, ya masuk ke ranah privat. Kecuali yang bersangkutan di ranah privat itu mempunyai masalah ataupun kasus hukum. Itu lain. Jadi yang namanya kebebasan itu tetap ada di Indonesia. Dan aturan pun menjamin itu, yang namanya Hak Asasi Manusia ada kok di Undang-undang Dasar.
Apa akan diambil langkah pemblokiran juga?
Blokir bukan menjadi isu bagi saya, artinya bukannya mau blokar-blokir. Saya katakan, kalau pemikirannya hanya blokir capek kita semua. Tapi bagaimana kita menyelesaikan istilahnya kalau blokir itu di hilir. Nah, istilahnya seperti menyembuhkan orang sakit. Kita lebih banyak beralih bagaimana membuat orang sehat. Ke hulu. Itu aja, dengan cara mengajak masyarakat, komunitas untuk ikut serta. Saya selalu dorong, fasilitas, apabila ada aktifitas-aktifitas di komunitas masyarakat untuk yang demikian.
Adakah instrumen khusus yang disiapkan untuk mendeteksi berita itu hoax atau bukan?
Secara teknis bisa. Nah ini yang sedang saya bicarakan dengan teman-teman bagaimana bisa dilakukan oleh masyarakat itu sendiri untuk verifikasi. Tapi memang tidak mudah, karena teknologinya ini kan berkembang terus.
Pesan anda kepada masyarakat terkait merebaknya berita hoax?
Kita sebagai masyarakat umum, sebaiknya kita lakukan tabayun, konfirmasi kalau mendapatkan berita, untuk mengetahui benar atau tidaknya. Apalagi kalau mau meneruskan, kita harus memastikan berita tersebut adalah benar. Karena kalau tidak benar, itu namanya fitnah. Kedua, harus dipastikan juga bahwa kalau kita menyampaikan berita itu yang memberi nilai tambah. Memberi manfaat. Kalau tidak, istilahnya kalaupun beritanya benar, istilahnya jadi bergunjing, ghibah. Itukan nggak dapat pahala, dan fitnah itu berdosa.
Ada yang bilang, pemerintah kayaknya terlalu berlebihan menanggapi berita hoax ini. Komentar anda?
Saya susah mengomentarinya, tapi yang pasti yang pemerintah lakukan itu pasti dalam koridor aturan. Kalau hoax ya hoax lah. Tapi dipastikan pemerintah itu lebih mengedepankan cara-cara yang melibatkan masyarakat. Dan pemerintah itu, setidaknya bagi saya blokir itu bukan solusi akhir. Justru kita harus banyak melibatkan masyarakat lebih kepada literasi dan edukasi. Kecuali yang bukan hoax ya, seperti konten negatif, seperti terorisme, radikalisme. Itu sih sudah nggak ada ampun. Kalau hoax, ngapain juga saya hanya ngurusin hoax... He-he-he. (*)
Foto: Google Image