Suasana tenang kembali melingkupi sepanjang jalan raya yang berbatasan langsung dengan pesisir Pantai Cox’s Bazar. Pantai yang menjadi salah satu destinasi wisata utama di Bangladesh ini biasanya memang dipadati pada akhir pekan. Atau, bisa juga ketika ada perhelatan akbar berskala nasional. Seperti halnya perayaan tahun baru lalu, riuh kerumunan warga mulai terasa bahkan sejak siang hari menuju pergantian tahun. Gerimis yang hadir hingga penghujung malam tidak menggoyahkan turis-turis untuk menyaksikan semarak kembang api tahun baru di Pantai Cox’s Bazar. Gempita tahun baru di Cox’s Bazar makin menampakkan “dua sisi” kota pelabuhan tersebut. Semarai pelancong dan kesunyian kamp pengungsian ditunjukkan kota ini dalam radius tak kurang dari 20 km. Malam tahun baru, hanya rintik hujan yang meramaikan kompleks rumah mereka. Becek dan lumpur menyambut hari baru para pengungsi Kamp Kutupalong di tahun 2018. Syuaib, pengungsi remaja yang tinggal di salah satu unit shelter ACT, memulai hari pertama di tahun ini dengan mengunjungi lokasi pembangunan shelter ACT. Ia ingin membantu relawan konstruksi yang mungkin saja membutuhkan bantuannya. “Tahun baru buat saya biasa saja. Tidak ada perayaan, hanya beraktivitas seperti di hari-hari lainnya saja,” ujar Syuaib. Selebrasi pergantian tahun baru juga tak terpikirkan oleh Imam, salah satu pengungsi lama di Kamp Kutupalong. Pergantian tahun ia lewati tanpa sebuah perayaan, begitu pula dengan para pengungsi Rohingya pada umumnya. “Para pengungsi di sini memang tidak terbiasa merayakan tahun baru. Bahkan waktu di Myanmar dulu, kami juga tidak bersorak menyambut tahun baru. Bukan tradisi kami,” jelas Imam. Awal tahun 2018, bukan semarak kembang api yang meramaikan kamp pengungsian di wilayah Kutupalong, Cox’s Bazar. Semarak yang lebih besar melingkupi area pemukiman para pengungsi baru di kamp pengungsian terbesar di Bangladesh itu. Semarak tersebut tergambar dari riuhnya aktivitas harian mereka, yang sudah mulai melupakan horor konflik pada akhir Agustus 2017 lalu. Awal Januari ini, atau sekitar empat bulan setelah kedatangan ratusan ribu pengungsi Rohingya ke Bangladesh, kondisi para pengungsi bisa dikatakan mulai berangsur normal. Di Kamp Kutupalong, warung-warung dibangun seadanya di depan rumah mereka. Pasar pun mulai hidup dan tak pernah terlihat sepi. Pakaian, peralatan listrik, sayuran, buah-buahan, hingga kudapan ringan yang kerap menjadi jajanan favorit anak-anak Rohingya Kegiatan di sejumlah madrasah darurat juga sangat kondusif. Suara lantang anak-anak yang sedang belajar membaca, bisa terdengar hingga keluar. Alunan ejaan mereka membuat orang-orang yang mendengarnya merasa gembira karena merasakan sendiri besarnya semangat belajar mereka. Membaiknya kondisi psikologis para pengungsi tak terlepas dari terpenuhinya rasa aman di lingkungan baru yang mereka tempati. Bantuan demi bantuan kemanusiaan juga terus disalurkan untuk menunjang kebutuhan dasar mereka. Aksi Cepat Tanggap (ACT), sejak Agustus lalu, terus mengupayakan segala bentuk bantuan untuk Rohingya. Mulai dari bantuan kebutuhan yang paling dasar, seperti bahan makanan, pakaian, tempat tinggal, hingga layanan kesehatan. Selain itu, berbagai bentuk fasilitas umum juga dibangun, seperti MCK, masjid, dan madrasah untuk anak-anak. Pelayanan kesehatan yang bisa diakses secara gratis setiap hari di Mini Clinic ACT masih berlangsung, bersamaan dengan Mobile Clinic yang lebih memudahkan pengungsi untuk berobat karena para dokter mengunjungi langsung kamp mereka. Insya Allah, tahun 2018 ini, berbagai bentuk bantuan masih akan terus disalurkan untuk saudara-saudara Rohingya. Karena, walaupun mungkin bagi mereka kehidupan saat ini sudah jauh lebih baik, tak berarti hanya itulah yang pantas diterima. |
![logoblog](https://3.bp.blogspot.com/-h2g5wrjCTDw/Wz3E6ocavYI/AAAAAAAABH8/nOqtyDL2VnEF_HmhZyjlu59zWRS8t7ZNwCLcBGAs/s1600/blogger.png)