Tahun 2013 adalah tahun selesainya tugas DPRA dalam menyelesaikan rancangan Qanun RTRW Aceh yang tercantum dalam Qanun RTRW Aceh Nomor 19 Tahun 2013. Sungguh kita patut mensyukuri sebuah usaha kerja keras pemikiran dari berbagai khazanah wilayah Aceh yang begitu majemuk dengan pertimbangan masifnya kepentingan antara wilayah kabupaten/ kota di Aceh.
Mengamati berbagai isi Qanun yang berakhir pada tahun 2033, penulis berfokus di area pengembangan pelabuhan laut. Di laut terletak akar sejarah bangsa dan kita diakui sebagai bangsa pelaut yang berdagang seantero dunia seperti halnya Aceh begitu terkenal sebagai armada kapal tangguh yang melahirkan pejuang-pejuang trah Darussalam.
Prajurit kesultanan nan megah di era zaman kolonialisme barat merajalela dimuka bumi. Aceh memantangkan kalah terhadap ekspansi penjajahan dengan semangat keislaman yang terhagemoni bersama adat istiadat bangsa Po Teu Merehom, mengalir Hukum Syiah Kuala berselimut dengan Qanun Putroe Phang, dan dipejuangkan Reusam oleh Laksamana. Kekuatan armada yang sangat bersahaja terjadi kala perempuan menaklukkan kapal Hindia Belanda. Penaklukan itu dipimpin oleh wanita perkasa,bergelar Laksamana Malahayati yang berhasil menghunuskan rencong ke tubuh Cornelis De Houtman satu lawan satu pada 11 September 1599.
Hiruk pikuk lautan samudera Hindia dan Selat Malaka dipenuhi pedagang-pedagang yang memburu berbagai rempah, haluan para pelajar yang bermursyid kepada alim ulama fiqih dan tasawuf, serta menjadi penghentian kapal untuk berlabuh menuju kiblat umat. Lautan kita adalah lautan yang bekhazanah tinggi, lautan tempat bermunajat kepada sang pengkodrat jiwa dan raga, lautan kita adalah lautan hikmah yang kaya berbagai spesies ikan yang sejatinya mampu memposisikan Aceh tanpa kemiskinan.
Keputusan untuk mensahkan Qanun RTRW Aceh sudah menjadi hukum dan pedoman eksekutif untuk menerapkan infrastruktur yang sesuai. Pada pasal 19 halaman 22 kita dapat membaca putusan DPRA untuk lokasi pembangunan atau pengembangan pelabuhan penumpang dan dagang. Tentulah menjadi gerbang utama pulau Sumatera adalah pelabuhan di Sabang. Penulis akan membahas pelabuhan yang representatif di Barat Selatan Aceh karena hasil tani yang besar, produksi CPO perhari ribuan ton, dan berbagai hasil laut, tambak lainnya. Sedangkan untuk Timur Utara Aceh hingga saat ini sangat dekat terhubung dengan pelabuhan Belawan yang telah sejak lama menjadi gerbang Indonesia berhubungan dengan internasional.
Terdapat tiga pelabuhan utama yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dengan jenis pelayanan utama kontainer, kargo umum, curah cair dan curah kering lingkup nasional dan internasional yang akan dikembangkan di Barat Selatan Aceh sesuai Qanun RTRW yaitu Pelabuhan Singkil (Aceh Singkil), Pelabuhan Meulaboh (Aceh Barat), dan Pelabuhan Susoh di Teluk Surin (Aceh Barat Daya).
Kritik Terhadap Qanun
Pelabuhan utama yang tertera dalam Qanun dimana terdapat 3 pelabuhan aimana jarak tempuh antara pelabuhan satu dan pelabuhan lainnya sangatlah dekat. Jarak tempuh ini adalah pemborosan anggaran yang dipaksakan yang seharusnya dapat difokuskan ke lain pembangunan. Dilihat dari peta sudah jelas bahwa kawasan Barat Selatan yang menjadi poros tengah terletak di Aceh Barat Daya yang jarak tempuh darat dari Aceh Singkil sekitar 5 jam, dari Gayo Lues sekitar 3 jam, dan Aceh Barat sekitar 2 jam. Disekitar Abdya ada belasan pabrik kelapa sawit yang berhasil memproduksi CPO perharinya hingga berton, produsi pinang perbulan mencapai puluhan ton, rotan menjadi primadona dan berbagai hasil alam lainnya. Oleh karena itu, seharusnya DPRA sebagai perwakilan rakyat mampu membaca hal tersebut sehingga yang diangkat untuk merumuskan berbagai Qanun menjadi rasional yang berdampak kepada efektifnya anggaran yang dikeluarkan.
Selain itu, dalam kata sambutan Gubernur Aceh saat pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Abdya defenitif ke-3, beliau akan mengupayakan pembangunan Refinery Sawit di Abdya yang pelaksanaannya untuk mengolah sawit menjadi produk minyak masak, mentega, sabun, dan berbagai kebutuhan pokok rumah tangga lainnya. Hingga sejauh ini sudah datang investor dari Singapura untuk melihat lokasi atas arahan dari Gubernur. Pembangunan tersebut jika terealisasi maka Refinery Sawit akan beroperasi pada tahun 2020. Jadi pembangunan Pelabuhan Susoh di Teluk Surin sudah harus dijalankan sejak sekarang oleh berbagai faktor tersebut diatas. Tidak mungkin kita membiarkan produk rumah tangga tersebut tersimpan rapi di kontainer pelabuhan karena pasar Nasional dan Internasional sangat membutuhkan itu.
Pembangunan Pelabuhan Susoh di Teluk Surin begitu primadona selain karena faktor produksi lokal juga karena kebutuhan barang dari luar. Blangpidie (Ibukota Aceh Barat Daya) telah menjadi kota dagang sejak sebelum terjadi pemekaran 2002 lalu dimana dari segala penjuru Barat Selatan Aceh berbelanja berbagai kebutuhan di Blangpidie. Membaca kondisi tersebut, penulis berharap Pelabuhan Susoh di Teluk Surin tersebut selesai pada tahun 2021 yang akan menggenjot PAD wilayah Barat Selatan lebih tinggi, pendapatan masyarakat tergenjot, dan kebutuhan lainnya terpenuhi.
Alasan lain yang sangat rasional adalah dari faktor alam. Sedimentasi di sepanjang Barat Selatan pulau sumatera merupakan faktor utama terkendalanya kapal besar suka berlabuh disitu. Penulis melihat kapal tongkang angkutan batu bara untuk keperluan PLTU Sektor Nagan Raya yang memarkirkan kapalnya di tengah laut yang dalam dan ke pesisir untuk membongkar batubara. Kapal tongkang tersebut tidak bisa memarkirkan kapalnya dipesisir karena ombak laut yang besar yang akan berakibat kepada kapal bisa saja terbentur karang yang akan memecah kapal, ombak bisa saja masuk ke badan kapal sehingga kapal tenggelam. Tidak salah di beberapa pelabuhan kapal ikan di bangun pemecah ombak untuk menyelamatlan kapal nelayan dari kondisi laut yang ganas. Pelabuhan penumpang di Labuhan Haji terletal di sebuah teluk yang tidak terlalu besar yang pada kondisi hukan badai kapal tersebut aman berparkir disana. Jikapun dipaksakan pelabuhan harus sesuai dengan RTRW yang telah disahkan tersebut, APBA Aceh harus mampu mengatasinya karena harus membangun pemecah ombak yang akan menghabiskan puluhan gunung untuk keperluan timbunan dan batu gajah pemecah
Teluk Surin terletak di teluk yang sangat dalam dibuktikan dengan DEA (Data Envelopment Analysis). Pelabuhan ini juga didukung dengan keluarnya surat dari Menteri E.E Mangindaan bernomor KP 725 pada 4 agustus 2014 yang menetapkan Pelabuhan Susoh di Teluk Surin dan Pelabuhan Tanjung Pakis di Lamongan kedalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN). Data lain yang dibutuhkan seperti AMDAL dan lainnya sudah selesai tinggallah pelabuhan tersebut di bangun segera.
Di Balik Pelabuhan Susoh di Teluk Surin dan Keputusan Presiden Amerika
Keunggulan pelabuhan di Aceh Barat Daya adalah karena pelabuhan tersebut di bangun di Teluk Surin yang mampu menampung kapal-kapal angkutan barang besar dan parkir di area yang aman dari ganasnya pasang surur ait laut. Area ini adalah sebuah area sejarah yang panjang dimana sejak para indatu kita dahulu telah mensyiarkan gemulainya laut barat daya dan hasil rempah yang mengidola seantero dunia.
Di tahun 1780an, menurut buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh karya M Nur El Ibrahimi. Kala itu Kerajaan Kuala Batu (salah satu kerajaan di Barat Selatan Aceh yang tunduk kepada Aceh Darussalam), telah mampu membangun hubungan hingga ke Amerika Serikat. Kapal-kapal Amerika masuk ke wilayah Aceh untuk mengangkut lada ke Amerika, China, dan Eropa. Setiap tahunnya saat itu kapal mangangkut sekitar 42.000 pikul atau 3.000 ton lada dimana pusat perdagangan saat itu berada di Kuala batu.
Sejak tahun 1829, harga lada dunia mengalami invlasi yang berdampak kepada jumlah kapal yang datang menurun. Diantara kapal yang hadir adalah kapal Friendship milik Silsbe, Pickman, dan Stone dibawah pimpinan nahkoda Charles Moore Endicot. Saat itu Endicot menurunkan timbangan lada dan menjual dengan timbangan yang lebih berat. Hal tersebut mengakibatkan rakyat Aceh marah dan merompak kapal Friendship. Perompakan itu tersiar luas di Amerika yang mengakibatkan pemerintahan tidak stabil. Silsbe sebagai pemilik kapal meminta ganti rugi kepada pemerintah Amerika dan ia juga menyampaikan petisi yang di tandatangani oleh seluruh pedagang Salem disana. Isi petisi adalah mengirimkan kapal perang ke Kuala Batu untuk menuntuk ganti rugi dan tanggung jawab atas kerugian yang mencapai US$ 50 ribu.
Jackson adalah presiden Amerika saat itu. Ketika mendengar petisi tersebut langsung menyambut baik dengan memberi disposisi untuk memperhatikan kerajaan Kuala Batu dan mengeluarkan surat perintah kepada kapten kapal Pottomac (kapal perang tercanggih Amerika saat itu). Dibawah pimpinan Shubrick, pecahlah perang di Kuala Batu yang membumi hanguskannya oleh meriam-meriam Amerika. Dua prajurit Amerika saat itu tewas sedangkan banyak prajurit Kuala Batu, wanita dan anak-anak yang menjadi korban karenanya.
Begitulah sejarah negeri penghasil lada, rempah dan kekayaan alam lain yang patut kita buka kembali. Kenyataan ini menguatkan pondasi pembangunan pelabuhan utama Aceh di Teluk Surin yang terbukti telah mampu membuka kekuatan perdagangan Aceh hingga ke mancanegara.
Muhammad Mairiska Putra
Penulis adalah Mahasiswa STTN-BATAN Yogyakarta