Natalius Pigai membongkar berita bohong yang dimuat Kompas edisi 10 Februari lalu dengan judul "Jalan Trans Papua, Menembus Gunung dan Membela Bukit". Berita dengan judul bombastis itu ditenggarai untuk pencitraan.
Ia mengaku kaget dengan berita yang dimuat salah satu surat kabar terbesar di Indonesia itu. "Seakan-akan semuanya adalah benar," kritik Pigai (13/2).
Selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo, salah satu Komisioner Komnas HAM ini mengaku tidak pernah mengetahui adanya Rancang Bangun Insfrastruktur Jalan dan Jembatan di Papua 2015-2019.
"Coba tunjukkan mana dan berapa kilometer ruas jalan prioritas dan mana ruas jalan strategis untuk konektivitas antar kota/kabupaten, provinsi dan jalan nasional selama 2015-2019? Kami persilakan antar ke Komnas HAM RI. Kami menunggu dalam minggu ini untuk menujukkan validitas dan keakuratan data dan anggaran," tantangnya.
Putra asli Papua ini mengatakan, sejauh yang Ia amati tidak ada ruas jalan baru yang dibangun. Kecuali hanya satu, yaitu Jalan Wamena-Nduga yang dibangun oleh Tentara.
"Hampir semua jalan Trans Papua rusak Parah di Jaman Pemerintahan Jokowi, Jalan Merauke- Boven Digul sebelum Jokowi memimpin hanya ditempuh sehari jalan darat. Sekarang berhari-hari atau bahkan hampir seminggu," ungkapnya.
Untuk fakta lapangan, Ia minta untuk melihat gambar dari surat kabar terkemuka di Papua, Cenderawasih Post terbitan minggu lalu. Dalam catatannya, Pemerintah hanya baru membangun 231,27 kilometer, itupun hanya terlihat Wamena-Nduga.
"Karena grand design pembangunan insfrastruktur Papua belum pernah diumumkan, bahkan rakyat bertanya kepada saya beberapa isu negatif yang ditujukan pada proyek insfrastruktur di Papua yang katanya mencapai anggaran trilyunan rupiah," beber Pigai.
Proyek triliunan rupiah yang dipertanyakan antara lain; grand design ruas Jalan Baru di Papua 2015-2019. Kedua, Ia jug mempertanyakan mengapa kontraktor utama yang bekerja di ruas jalan ini belum pernah ada putra Papua asli. Temuan dia, semua kontraktor utama adalah pendatang.
"Yang mengelola ratusan miliaran rupiah dan semua uang lari keluar Papua. Bukankah kami juga warga negara yang bisa bekerja dengan nilai proyek yang besar? Kami orang asli Papua untuk menjadi sub kontraktor saja susah," imbuhnya.
Pigai membeberkan, Markus Bukaleng, pengusaha pertama suku Amungme di Timika bangkrut dan jatuh miskin karena kementerian PUPR tidak pernah membayar dan menghargai hasil keringatnya yang membuka jalan baru sepanjang 10 km. Jalan Trans Papua yang menghubungkan Timika- Enarotali.
Ia mengaku, Komnas HAM sudah tiga kali berkirim surat ke Menteri PUPR Basuki Hadimulyo. Namun, kata dia tidak pernah digubris.
Masyarakat Papua, lanjut Pigai, juga mempertanyakan mengapa Kepala Balai Pembangunan Jalan dan Jembatan Papua tidak pernah dipimpin oleh putra asli Papua. Selama ini, menurutnya kepala Balai itu selalu dipimpin oleh orang non Papua. Bahkan hanya diisi oleh dua suku saja, yaitu suku dari Sumatera utara yang Kristen dan Sulawesi selatan yang Kristen.
"Biasanya di Indonesia disindir suku yang suka kolusi dan nepotismenya tinggi. Tolong tanyakan kepada Bapak Presiden Jokowi Dan Menteri PUPR berapa nilai sogokan untuk menjadi Kepala Balai Papua sehingga putra Papua siap-siap untuk sogok kalau isu itu benar," sindirnya.
Pigai juga heran, mengapa proyek insfrastruktur di Papua selalu tersandung masalah korupsi. Baik yang melibatkan kalangan politisi di Senayan, para pejabat di kementerian teknis, seperti dana Instratruktur daerah (PPID) Papua ' kardus durian' yang ditangkap KPK.
"Hingga hari ini kita menyaksikan KPK membongkar dugaan korupsi jalan Trans Papua di Dinas PU Provinsi Papua," sesal Pigai.
Presiden Jokowi, kata Pigai tidak pernah mengeluarkan instruksi Presiden sebagai landasan pembangunan insfrastruktur di Papua. Berbeda dengan Pemerintah sebelumnya yang punya grand design infrastruktur Jalan di Papua secara serius. Itu dilakukan oleh Pemeintah melalui instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2007 tentang percepatan Pembangunan Infrastruktur Papua.
"Bahkan di dalam RPJM 2010-2014, Pemerintah secara jelas membangun Grand Design dalam rangka mengatasi permasalahan infrastruktur jalan dan jembatan di wilayah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat," terangnya.
Sepanjang tahun 2010-2014, Pemerintah Pusat membangun 11 ruas jalan strategis dan prioritas di Provinsi Papua. Yaitu tujuh ruas jalan strategis dan empat ruas jalan prioritas, dana menelan dana sebesar Rp. 9,78 Triliun.
Rincian nya, pembangunan tujuh ruas jalan strategis antara lain; Nabire, Waghete dan Enarotali (262 km), Jayapura, Wamena dan Mulia (733 km), Timika, Mapuru Jaya dan Pomako (39,6 km), Serui, Menawi dan Saubeba (499km). Selanjutnya Jayapura ke Sarmi (364 km), Jayapura, Holtekam batas PNG (53 km), Merauke Waropko (557 km), dengan total 2.056 km.
Sementara sisa empat ruas jalan prioritas lainnya adalah jalan Provinsi Papua sepanjang 361 km, yang mengubungkan Depapre-Bongrang, Wamena-Timika-Enarotali, dan Ring Road Jayapura.
Sedangkan di provinsi Papua Barat, masing-masing empat ruas jalan yaitu; Sorong-Makbon-Mega sepanjang (88 km), Sorong-klamono-Ayamaru-Kebar-Manokwari (606,17), Manokwari-Maruni -Bintuni (217,15), Fak-Fak-Hurimbe, Bomberai (139,24).
Salah satu moda transportasi yang sangat vital di Papua, kata Pigai adalah moda transportasi udara. Hingga saat ini Papua punya 300 buah lapangan terbang perintis dan hanya dilayani oleh 5 buah pesawat Merpati buatan 1975 namun terhenti pada tahun 2013. Sehinga saat ini tidak lebih dari lima buah perusahaan swasta yang melayani mobilitas barang dan jasa.
"Jangan hanya mengeluarkan sepenggal catatan untuk sekedar pencitraan bahwa Pemerintah metamorfosis Papua dengan konektivitas infrastruktur darat, laut dan udara seperti di Pulau Jawa dan Sumatera. Hingga saat ini 99% Pulau Papua masih daerah tertutup dan daerah terabaikan (blank spot)," tutup Pigai. (*)